Siapkan Rencana Reborn Bisnis Pasca Pandemi Covid-19

Jika anda memiliki sebuah usaha atau bisnis seperti ruko, kafe, atau warung sebelum pandemi, dan tiba-tiba hancur berantakan saat Covid-19 menyerang, tenang, anda tidak sendiri. Ada banyak orang diluar sana yang mengalami hal serupa, tak terkecuali saya.

Sebelum tahun 2020, saya memiliki beberapa usaha. Ada setidaknya dua ruko yang sudah berjalan dengan lancar, yaitu ruko di Jalan Bantul dan di Jalan Wates, Yogyakarta. Kemudian ada satu warung yang masih merintis, yang lokasinya berada di Jalan Parangtritis, tepat di depan Kampus Institut Seni Indonesia (ISI).

Selain itu, diakhir tahun 2019 juga saya berencana join business dengan rekan kuliah untuk membuka sebuah kafe kopi untuk tongkrongan mahasiswa. Bahkan kami sudah menghubungi beberapa organisasi kemahasiswaan untuk menjadikan kafe kami nantinya sebagai homebase perkumpulan, dan sudah dibuat skenario nantinya akan juga digunakan oleh suporter klub-klub Eropa melakukan nonton bareng (nobar).

Usaha dan bisnis saya ini mulai dirintis sejak tahun 2016, sesaat setelah selesai mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ruko pertama yang dibuka adalah ruko yang berada di jalan Bantul Km. 8, sebelah SPBU Diro. Awalnya tentu saja income yang saya dapat tidak seberapa, namun dengan kegigihan dan ketekunan, pada akhirnya membuahkan hasil juga.

Saya berhasil membuka beberapa cabang dan bisnis baru, dan saya juga bisa banyak plesiran ke banyak daerah dan bahkan luar negeri. Semuanya hasil dari pendapatan berbisnis. Saya juga sudah memiliki aset berupa tanah yang jika tidak ada pandemi Covid, mungkin sekarang sudah berdiri sebuah rumah yang cukup untuk membangun bahtera rumah tangga.

Namun sial beribu sial. Pada awal Maret, tanggal 2 kalo tidak salah, kasus pertama Covid-19 diumumkan oleh presiden. Saat pengumuman itu, posisi saya sebetulnya sedang ada di Bali. Biasa, plesiran, itung-itung syukuran karena saya telah tamat menyelesaikan program master saya di UGM. Itu adalah masa-masa menunggu waktu wisuda yang rencananya akan dihadiri oleh semua anggota keluarga saya.

Selain bisnis, hal sial lainnya yang disebabkan karena Covid-19 adalah acara wisuda. Jadwal wisuda yang sebelumnya direncanakan akan digelar pada bulan April atau Mei, harus ditiadakan. Bahkan wisuda online pun tidak ada. Ya begitulah, kampus sebesar inipun harus gagap menghadapi pandemi yang tidak biasa ini.

Balik lagi ke bisnis. Saat Covid menyerang, satu atau dua bulan pertama di Jogja, seluruh jalanan ditutup. Lalu lalang orang dijalanan hampir kosong. Akibatnya, daya beli masyarakat turun drastis.

Dari sini saya melihat kehancuran usaha-usaha saya. Karyawan terpaksa saya pulangkan dan ruko yang lainnya terpaksa saya tutup. Hanya ruko yang di jalan Bantul yang buka, karena saya tidur di ruko itu. Jadi saat itu, yang menjaga toko adalah saya sendiri.

Awalnya saya kira Covid ini tidak akan berlangsung lama dan akan diselesaikan secara tepat oleh pemerintah. Itu lah alasan kenapa pada bulan Juli, saya perpanjang kontrak ruko dengan harapan pandemi berakhir.

Namun dugaan saya keliru. Covid terus memuncak dan daya beli masyarakat tidak kunjung membaik. Akhirnya dengan terpaksa, pada akhir tahun 2020, tepatnya di bulan Desember, saya acungkan bendera putih sebagai tanda bahwa saya menyerah mempertahankan bisnis yang sudah saya rintis sejak tahun 2016 awal ini.

Hampir 5 tahun bisnis ini berdiri. Suka dukanya hampir sudah saya nikmati. COD an malam-malam sambil hujan, mengambil barang dan menunggu di lampu merah lebih dari 3 jam, dibentak-bentak customer, rugi beberapa kali, dapat karyawan yang kurang ajar, adalah sedikit dari lika-liku memiliki bisnis sendiri.

Namun semua kenangan itu harus pupus ditangan virus kecil yang tidak terlihat. Awalnya tentu marah dan tidak terima, bagaimana mungkin bisnis yang sudah berjalan 5 tahun dan berada di titik kestabilan, tiba-tiba lenyap seketika. Tapi itulah kehidupan. Perlahan namun pasti, saya harus menerimanya dengan lapang dada.

Sekarang, tahun 2022, sudah 2 tahun lebih sejak pandemi menyerang, ide untuk memulai bisnis ini kembali muncul. Tentu ini baru sekedar niat, karena saat tulisan ini dibuat, posisi saya berada di luar Pulau Jawa. Hal yang sulit untuk memulai sesuatu, karena segalanya serba sulit. Namun tidak masalah. Angan-angan untuk menghidupkan kembali bisnis harus tetap menyala.

Sebagai orang yang mengalami lika-liku hidup, pernah terjun sebagai pebisnis dan sekarang menjadi pegawai, tentu saya memiliki pola mind set nya sendiri.

Sebagian besar orang, saya katakan sebagian besar orang, menganggap menjadi pegawai utamanya pegawai negeri adalah pekerjaan terbaik dalam hidup. Alasannya cukup logis. Seorang pegawai akan digaji setiap bulan, sehingga dia tidak perlu pusing memikirkan income. Selain itu, pegawai negeri juga diberikan uang pensiun, sebagai bekal di hari tua. Pemikiran ini menyebar di setiap orang, termasuk ibu saya sendiri juga berpikiran demikian. Bahkan bagi beberapa orang tua, pegawai negeri adalah menantu idaman. Begitu pikiran kebanyakan orang.

Namun saya bukan bagian dari kebanyakan orang itu. Jika saya ditanya, “lebih baik mana, berdagang atau menjadi pegawai?” Maka saya akan teguh menjawab berdagang. Jawaban ini tentu tidak lantas memberikan konklusi bahwa saya anti menjadi pegawai. Tentu bukan itu. Tapi ini adalah jawaban prioritas, bahwa berdagang lebih utama dari menjadi pegawai.

Mari saya berikan beberapa alasan mengapa berdagang lebih utama dari pegawai:

  1. Berdagang atau berbisnis adalah jalan hidup yang utuh. Kita bisa mengelolanya sendiri. Kualitas seseorang akan teruji saat dia berbisnis. Semakin kreatif seseorang, maka dia akan semakin berhasil dalam berbisnis. Hal ini berbeda dengan pegawai, dimana kreativitas dan kecerdasan saja tidak cukup. Dibutuhkan “orang lain” agar kita berhasil mencapai puncak karier. Ini bukan perkara baru, bukan?
  2. Dalam konsep berdagang, anda didikte oleh dirimu sendiri. Bahkan jika anda memiliki karyawan sendiri, anda adalah bosnya. Aturan anda adalah aturan perusahaan. Berbeda dengan pegawai/karyawan, posisi anda ya disuruh-suruh. Setinggi apapun jabatannya, anda tetap akan disuruh oleh orang diatasnya. Posisi anda bisa terancam hanya karena anda menyinggung beberapa orang tertentu. Menurut saya, itu jelas tidak fair.
  3. Income yang didapat dalam bisnis sifatnya unlimited, sesuai dengan kreativitas, kerja keras, dan kecerdasan pemilik bisnisnya. Berbeda dengan pegawai, seberapa kerasnya pun bekerja, gaji nya tetap segitu.
  4. Jika tolak ukurnya kekayaan, biar saya kasih tau, 10 orang terkaya di dunia semuanya adalah pebisnis. 10 orang terkaya di Indonesia pun semuanya pebisnis. Tidak ada dari kalangan pegawai bukan? Jika pun ada pegawai yang memiliki kekayaan yang fantastis, ujung-ujungnya bisa berurusan dengan aparat penegak hukum. Betul begitu kan?
  5. Kalo mau healing, pegawai itu harus repot mengajukan cuti. Kalo pebisnis? Ya hari itu mau main, main aja, siapa juga yang mau larang.
  6. Sistem kerja sebagai pegawai atau karyawan, sistemnya mirip robot. Jam sekian harus mulai kerja, istirahat jam sekian, pulangnya jam sekian. Tapi kalo pebisnis, jam kerja ditentukan oleh dirinya. Bahkan jika sudah memiliki karyawan sendiri, tugasnya ya hanya monitoring saja. Enak bukan?

Lagi-lagi, sebagai orang yang pernah hidup di dua alam, yaitu pebisnis dan pegawai, komparasi semacam ini terlihat sangat mudah dilakukan. Tentu saja, saya tidak memungkiri kelemahan dari bisnis ini seperti resiko rugi dan bahkan bangkrut sebagaimana juga pernah saya alami. Tapi bagi saya itu tantangan hidup. Untuk apa kita menikmati hidup tanpa adanya tantangan? Terasa tidak asyik sama sekali.

Tapi tentu ini bukan menjadi alasan anda untuk berhenti dari pekerjaan yang sekarang. Tentu bukan itu maksudnya.

Yang sekarang sedang bekerja sebagai karyawan atau pegawai, lanjutkan saja. Namun saya sampaikan bahwa menjadi karyawan atau pegawai saja tentu tidak akan cukup. Saya melihat berapa banyak pegawai yang sudah memasuki usia senja namun masih nyicil ini itu. Belum memiliki kemandirian ekonomi.

Teringat kalimat motivasi bapak saya, “MAU JADI APAPUN KAMU KELAK, SISAKAN MODAL UNTUK BERDAGANG…!”

Oleh karenanya, alih-alih berhenti sebagai pegawai, bagi saya sekarang yang penting, kita tetap fokus sebagai pegawai, namun sisakan ruang berpikir untuk menata kembali bisnis lama yang pernah hancur. Tahun 2022 ini tentu bukan saat yang tepat untuk reborn, namun strategi reborn ini harus mulai dipikirkan  dan dipersiapkan dari sekarang.

Mungkin dalam 2 tahun mendatang, entah 2024 atau mungkin 2025, bisnis lama yang pernah terhenti itu harus sudah mulai kembali lagi mengisi perputaran ekonomi. Menjadi pegawai dan pebisnis sekaligus, kenapa tidak?

Oleh : idikms

Tag: , , , , , ,